Sunday, March 3, 2013

Cara Menciptakan Uang dan Nilai tambah

Ada beberapa hal yang perlu di pehatikan dalam kaitannya menciptakan uang dan nilai tambah, diantara hal tersebut ialah : 

1. Antusiasme 

 Menjadi kaya dan bebas secara finansial merupakan perjalanan panjang yang tak kenal henti. Ibarat seorang pelari merathon, kita memerlukan langkah-langkah konsisten dalam jangka panjang. Tidak ada jalan pintas untuk menjadi kaya. Disinilah antusiasme berperan penting. kita harus memelihara antusiasme tersebut dalam jangka panjang. Jangan pernah kehilangan gairah. Hanya dengan rasa ketertarikan yang tinggi, rasa ingin tahu yang begitu besar, kita bisa menemukan suatu cara mengakumulasikan aset yang efektif. 

2. Kesenangan 

Belajar Mengasah kecerdasan finansial membutuhkan kesenangan belajar terus-menerus. Jagalah agar kesenanga itu tidak menguap. Selalu menggali hal-hal baru, cara baru, mencari tentang fenomena baru, adalah hal-hal yang bisa mengasah terus kecerdasan kita. Teruslah berfikir mengenai cara kita berfikir. 

Dunia berubah perilaku manusia juga berubah. Kalau kita percaya bahwa kecerdasan finansial adalah sesuatu yang menyangkut perilaku manusia, maka tidak ada ruang sedikitpun untuk mengistirahatkan otak. Kecerdasan finansial bukanlah berapa aset yang telah kita akumulasi. Melainkan seberapa canggih cara yang kita temukan, sistem yang kita bangun, dan pola berfikir yang kita terapkan. 

Pendidikan skolastik dan profesional tidak mengajari kita cerdas secara finansial. Kita belajar kita belajar akunting disana. Namun kita disiapkan untuk jadi book- keeper bagi aset-aset orang lain. Kita tidak belajar untuk mengembangbiakkan aset sendiri. Para guru dan dosen mengajari kita bekerja untuk mencari uang, bukan menciptakan uang. Disekolah kita belajar menjadi pegawai yang baik, taat, loyal, dan produktif. Dikampus, kita dipersiapkan menjadi skrup-skrup dari mesin uang milik orang lain. 

Diberbagai kursus terang-terangan kita dilatih bekerja untuk orang lain. Tak satupun yang mengajari kita bebas secara finansial. Itulah kelemahan sistem pendidikan kita sekarang. Tapi, hanya karena sekolah tidak menyediakan tempat bagi kecerdasan finansial didalam kurikulum, apakah lantas kita tidak mempelajarinya? kita tetap harus mempelajarinya. Mungkin secara langsung didunia nyata. Mungkin juga kita mempelajarinya secara empirik, dengan pengalaman kongkrit. Atau, mungkin kita bisa memetik pelajaran dari pengalaman orang lain, entah pengalaman gagal atau sukses. 

3. Belajar dari Dunia Nyata. 

Banyak orang cerdas secara finansial setelah bertahun-tahun berkecimpung dialam nyata. Mereka tahu nikmatnya passive income, lantas terus mencoba meningkatkan aset produktif untuk memperbesar pipa saluran kekayaan. Mungkin awalnya tidak sengaja, tetapi setelah berhasil menemukan polanya, mereka menjadi ketagihan. 

Memang, tidak semua pengalaman itu manis. Ada pula yang harus lebih dulu jatuh bangun dan babak belur, sebelum akhirnya bisa membalik kegagalan menjadi kesuksesan. Walaupun harus jatuh bangun terlebih dahulu, mereka masih lebih mendingan dibandingkan mereka yang tidak mengalaminya. Para pemilik bisnis dari berbagai perusahaan yang arus kasnya positif, pemilik properti yang disewakan, pemilik mobil atau barang-barang lain yang disewakan mungkin saja merupakan orang-orang yang mempelajari kecerdasan finansial dari tindakan nyata mereka sehari-hari. 

Mereka bertransaksi, menjual, membeli, dan melakukan dealing setiap saat. Kadang-kadang rugi. itu biasa. Asalkan saja secara keseluruhan arus kasnya masih positif. Merekapun akhirnya mampu mengompensasi kerugian disatu transaksi dengan keuntungan pada transaksi lain. Mereka menggunakan trial and error, learning by doing untuk membangun kecerdasan finansial mereka. Nilai plusnya, mereka benar-benar bisa merasakan dan menghayati proses yang sedang dilakukan. Negatifnya, tentu saja, harus menanggung learning cost yang tidak kecil. 

4. Belajar dari Menthor. 

Kelompok yang kedua ini secara konseptual sudah memahami prinsip-prinsip kecerdasan finansial. Mereka hanya membutuhkan contoh nyata, yaitu seseorang yang mereka kenal, yang bisa berinteraksi langsung. Belajar dari menthor memang bisa mengeleminasi kemungkinan gagal. setidaknya, ada yang bisa diajak ngomong kalau mau bermanuver kalau mau menjual atau membeli aset. Ada yang memberi petunjuk-petunjuk berdasarkan pengalaman nyata. 

Namun disisi lain, belajar langsung dari menthor juga ada ruginya. Yang paling riskan adalah besar kemungkinan murid yang meng-copy sang guru. Entah strateginya, way of life, maupun nilai-nilai dalam berbisnis. Kalau yang ditiru merupakan sosok yang sempurna luar dalam (cerdas sekaligus etis). Tapi bagaimana kalau sang guru ternyata suka berprilaku tidak etis dalam berbisnis, walaupun dia cerdas luar biasa?. Hal lain yang harus diperhitungkan adalah besarnya kemungkinan untuk menjadi follower seumur hidup. Sehingga tidak berani untuk menerapkan ide-ide orisinal sendiri, atau kurang percaya diri untuk bersikap kreatif. Padahal, perubahan yang kian cepat menuntut kita untuk selalu kreatif dan lebih kreatif lagi. 

5. Belajar dari Ahlinya. 

kita bisa belajar dari kursus-kursus singkat mengenai kecerdasan finansial. kita bisa mengikuti short course, training atau seminar mengenai bagaimana meraih kebebasan finansial dalam waktu singkat. kita bisa berinteraksi langsung dengan sang pembicara, yang mungkin saja pemotivasi terkenal atau pakar dibidang ilmu menjadi kaya. Keuntungannya, kita bisa berdialog langsung dengan mereka. kita bisa menyerap ilmunya. kita bisa tertular motivasinya yang meledak-ledak. kita akan tergerak untuk melakukan hal yang sama persis seperti yang disarankan oleh pembicara. 

Bukanlah semangat adalah satu jenis “virus” yang menular?. Ruginya sang pembicara tidak berfokus pada diri kita. Ada ratusan peserta seminar lainnya. Sang ahli hanya mencoba merumuskan resep yang bersifat generik. Padahal, penerapan berbagai strategi finansial harus mempertimbangkan karakter khusus masing-masing orang. Jadi belum tentu apa yang dibicarakan sang pembicara secara berapi-api itu bisa kita lakukan secara sempurna. Kelemahan lainnya, tidak semua pakar benar-benar mampu menerapkan teori dalam praktiknya. Banyak pakar atau pengamat bisnis yang tak becus mengelola perusahaan banyak pula penasihat financial yang hidupnya justru terbelit hutang. Jadi, berhati-hatilah. 

6. Belajar dari Buku. 

kita juga bisa belajar dari buku. belakangan ini banyak buku beredar mengenai kecerdasan financial para penulis menyajikan berbagai resep, rumus, dan kiat praktis. Baik dengan gaya bahasa simple praktis dan mudah dicerna, sampai kalimat-kalimat akademis yang sulit dimengerti. Dari uraian dengan kosa kata sehari-hari yang gampang dikunyah, sampai rumus-rumus dan angka yang rumit seperti bikin bom nuklir. 

Seperti halnya ikut training atau seminar tentang pengelolaan kekayaan pribadi, belajar dari buku juga banyak kelemahannya. Teori dan trik yang ada di buku, kadang-kadang tidak realistis. Apalagi jika ditulis oleh penulis asing, yang memiliki pengalaman nyata diluar negri. Sebab dunia bisnis dan perekonomian di indonesia memiliki corak yang berbeda dengan amerika serikat. Policy ekonominya berbeda, inflasi dan suku bunganya beda, dan prilaku manyarakatnya ( konsumen ) jelas sangat berbeda. 

7. Lakukan Sekarang. 

Cermati bagaimana uang diciptakan. Amati bagaimana asset berpindah tangan. Seraplah ilmu mengenai kecerdasan financial. Entah melalui pengalaman nyata, pola menthoring, menyerap ilmu sang guru, atau membaca buku, yang jelas ada banyak cara untuk mengasah kecerdasan financial kita.

0 comments:

Post a Comment